Gamelan di masa upaya kolonial Belanda terhadap Nusantara menjadi senjata “peperangan” politis kultural antara masyarakat pribumi dengan pemerintah kolonial. Gerakan nasionalisme dalam upaya dekolonisasi Indonesia sejak akhir abad ke-19 tidak hanya wujud di ruang intelektual dan politik. Namun juga di ruang budaya. Ki Hadjar Dewantara menyadari kekuatan musik yang bisa mejadi tombak perjuangan dan nasionalisme dalam pergerakan dekolonisasi Indonesia. Belanda dan bangsa Eropa imperial pada zaman penjajahan di Indonesia seringkali memandang rendah kaum jajahan mereka dengan menyebutnya sebagai kaum yang “primitif” dalam konteks perbedaan warna kulit, peradaban, kebudayaan dan musik tidak terkecuali.
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1916 ketika dalam masa pengasingan beliau di Belanda menulis sebuah aransemen musik berjudul Kinanthie Sandoong untuk format musik kamar barat: soprano dan piano. Karya musik tersebut sebelumnya adalah komposisi gending gamelan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (1811-1881). Aransemen tembang tersebut kemudian dipergelarkan pertama kali (world premiere) di depan perkumpulan mahasiswa di Den Haag pada 30 Agustus 1916 yang dipertunjukkan oleh mahasiswi Koninklijk Conservatorium Den Haag: N. Roelofswaard (soprano) dan C. Kleute (piano). Titik awal pemikiran musik kontemporer Indonesia lahir sejak momen tersebut. Harapan Ki Hadjar hanya sekedar ingin membuktikan bahwa gamelan merupakan sumber bagi penciptaan musik baru. Gending gamelan adalah samudera ide yang dapat digubah menjadi berbagai macam tafsir dan karya yang lebih segar. Gamelan bagi Ki Hadjar bukan sekadar meluangkan waktu untuk bermusik namun juga berilmu pengetahuan. Hal tersebut dituangkan melalui berbagai coretan pemikiran dan gagasan Ki Hadjar.
Musik klasik Barat mengalami puncaknya dalam hal gagasan pada awal abad ke-20 dan menuju masa-masa kelam secara finansial akibat Perang Dunia pertama dan kedua. Secara musikalitas, Kinanthie Sandoong gubahan KHD dalam notasi barat tersebut memiliki unsur revolusioner, jauh sebelum komponis Amerika: Charles Ives, Henry Cowell, Alan Hovhaness dan John Cage menggunakan gaya musik aleatorik. Gaya penulisan KHD di dalam Kinanthie Sandoong membuka kemungkinan tafsir (interpretation) yang luas, layaknya pendekatan improvisasi. Improvisasi digelar selayaknya pemain gender melakukan ornamentasi musikal pada gending. Walaupun ia memiliki kebebasan dalam bertindak di luar kerangka gending, terdapat batasan logis secara musikal. Alhasil, setiap pagelaran karya tersebut akan memunculkan warna dan kontur musikal baru yang berbeda setiap masanya. Musisi diingatkan kembali tentang arti menjadi manusia. Di tengah hiruk pikuknya pasca revolusi industri kedua, musisi orkestra barat disibukkan dengan kejar tayang dan dipekerjakan bak mesin scanner partitur musik, Ki Hadjar Dewantara mengingatkan ajaran Jawa (kemanusiaan) melalui bahasa Eropa (notasi balok).
Dalam konteks ini, Ki Hadjar hendak menembak sepucuk poin tentang kesetaraan kultur. Di dalam musik, segala aspek perbedaan menjadi tidak penting. Yang utama adalah kesatuan dan kebersamaan untuk mewujudkan karya. Kelahiran karya ini dianggap sebagai cikal bakal lahirnya karya-karya yang mengikutinya. Keberanian dalam memunculkan gamelan sebagai wacana dan gagasan anyar yang menentang hegemoni musik barat semakin memanas. Dan yang terpenting, peleburan antara barat dan timur yang dipelopori oleh komponis pribumi mulai tumbuh mekar dan berani hadir terang-terangan bak Sumpah Palapa Vol.2. Gaung karya ini tidak hanya meninggalkan kesan di Belanda. Ia juga berdampak di tanah Jawa yang kemudian harinya membuat para pemain gending untuk tidak lagi soliter. Mulai saling mendengar, memperhatikan permainan dari musisi lain dan komunikasi-interaksi musikal antara musisi. Alhasil, fenomena ini memicu munculnya apa yang disebut sebagai budaya “adi luhung” untuk mendekonstruksi “keklasikan” musik Barat.
Tinggalkan Balasan