Radio Philharmonisch Orkest (1948-50) di Jakarta: sebuah upaya terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia melalui kebudayaan atau kesempatan Indonesia untuk mengukir rupa masa depan musik seni?

Orkes simfoni atau orkestra di Indonesia memiliki sejarah yang panjang meliputi permasalahan pergeseran ideologi kebudayaan, strata sosial dan kebijakan politik kolonial Belanda. Kini pada tahun 2023 kita sudah bisa menikmati sajian-sajian musik orkestra secara langsung tidak melewati perangkat telefon genggam, komputer maupun kaset. Di setiap kota di Indonesia kini memiliki orkestra yang digagas oleh pelaku musik, pecinta musik klasik Barat, pemerintah daerah dan inisiatif-inisiatif dari pemuda/i yang penuh rasa keingintahuan. Penikmat dan penggemar musik orkes simfoni di Indonesia kini juga beragam tidak hanya terdiri dari kaum strata tinggi.

Kebudayaan musik orkes simfoni di Nusantara diwarnai oleh beragam wujud-runtuh nya orkestra di Indonesia sejak abad ke-19. Orkes simfoni yang sejauh ini terekam dalam sejarah kolonial Belanda di Indonesia dimulai pada sekitar tahun 1915 yang dinamakan Bataviaas Staforkest (Orkes Korps Militer Batavia) dibawah pimpinan konduktor Nico Gerharz. Setelah periode revolusi Indonesia (1945-49), orkestra-orkestra yang wujud di Jakarta sampai era rezim Orde Baru antara lain adalah Orkes Radio Djakarta (1950), Orkes Studio Djakarta (sekitar 1950an), Cosmopolitain Orkest (sekitar 1950an), Orkes Simfoni Jakarta (1968).

Kali ini, LAMUNI ingin mengajak kita membaca dengan seksama sejenak apa yang terjadi di skena musik orkes simfoni pada era Perang Revolusi Indonesia. Pada tahun 1948 terjadi gelombang pengiriman musisi klasik Barat yang terbesar dan termahal ke Indonesia dari Belanda melalui Tanjung Priok. Berjumlah 65 orang musisi, orkes ini dinamakan Radio Philharmonisch Orkest dengan dirigen/konduktor Yvon Baarspul dan concertmaster Herman van der Vegt. Orkes ini dimandat tidak hanya untuk siaran radio dan konser publik di Jakarta, namun juga untuk mendidik orkes sekolah, orkes remaja dan pemuda/i Indonesia menjadi calon guru musik. Kehidupan musisi (lelaki) orkestra yang datang dari Belanda ini bak raja. Mendapatkan akomodasi mewah di Hotel Chaulan (Hotel Des Indes) yang jarak dari tempat kerja di radio mampu ditempuh dengan berjalan kaki. Setelah berbakti selama setahun, istri-istri dan anak-anak musisi orkestra ini didatangkan ke Jakarta. Sebuah kompleks perumahan disiapkan untuk mereka. Rehearsal diadakan di studio yang besar yang pada waktu itu disebut Radio Omroep in Overgangstijd’ (ROIO). Wakil presiden, Mohammad Hatta adalah patron orkestra baru ini. Konser premiere diadakan pada 30 Agustus 1948 di ‘Garden Hall’ Planten- en Dierentuin Batavia (kini Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan). Konser tersebut tidak semata-mata konser perdana RPO, namun juga dalam rangka memperingati 50 tahun kekuasaan H.M. Ratu Wilhelmina. Konser dengan repertoar oleh Bach, Geraerdts, Brahms dan ‘Het Wilhelmus’ dengan koor Oratorium tersebut dihadiri lebih dari 1000 penonton dan semua karcis habis terjual. 

Selain konser reguler dan penyiaran radio, orkestra ini telah menggelar beberapa tur antara lain pada bulan September 1949 ke Semarang, Surabaya dan Bali dengan jalur transportasi kapal, bulan November 1949 ke Singapura untuk 5 buah konser di Victoria Memorial Hall dengan jalur transportasi pesawat dan pada akhir 1949 ke Pladjoe (dekat Palembang) untuk 2 buah konser. Beberapa musisi dari orkestra ini kemudian membuat kelompok musik kamar: dua buah kwartet gesek dan sebuah kwintet tiup. Kwintet tiup tersebut tampil beberapa kali dengan pianis, Frans Szabo dan Douda Poliakine. Dua buah sub-orkes dibentuk dari RPO: 1. sebuah orkestra kamar (chamber orchestra) dipimpin oleh dirigen Frits Hinze; 2. Cosmopolitain Orkest dipimpin oleh Jos Cléber yang memainkan karya-karya yang lebih ringan daripada karya simfoni standar. Ketertarikan oleh masyarakat lokal mulai tumbuh. Manajemen ROIO yang mampu menyusun program orkestra simfoni baru yang didanai pemerintah ini percaya bahwa ia akan mampu menggiring misi kebudayaan dengan cara menyiarkan rekaman orkes tersebut seluas-luasnya di Indonesia di Semarang, Surabaya, Bandung dan Makassar. Selain program-program standar yang membawakan musik simfoni, RPO juga mengadakan 7 seri konser yang dedikasikan untuk komponis-komponis Belanda. 

Pada akhir hayat orkestra ini mereka menyelenggarakan 2 buah konser pamit (farewell concert) pada bulan Juni 1950 memainkan Simfoni ke-9 oleh Beethoven dengan koor campuran Batavia. Para musisi dipulangkan ke Belanda pada 21 Juli 1950. Beberapa dari mereka setelah itu memilih untuk kembali ke Jakarta untuk bergabung dengan orkestra baru yang dinamakan Orkes Radio Jakarta, pimpinan Henk te Strake yang berkumandang sampai tahun 1953. 

Membaca fenomena yang terjadi di akhir babak peperangan Revolusi Indonesia ini menghasilkan pertanyaan yang besar dan menarik. Apakah misi utama Belanda pada waktu itu dengan bendera “kebudayaan”? Karena apa yang terjadi setahun setelah wujudnya RPO di Jakarta, Konferensi Meja Bundar yang diadakan di Den Haag membicarakan kerjasama kebudayaan Indonesia – Belanda. Dasar-dasar pokok yang ada di dalamnya adalah kebebasan, kesukarelaan, timbal balik dan perkembangan budi manusia yang merdeka. Namun, timbul kekhawatiran terhadap poin kerjasama kebudayaan ini karena bangsa Indonesia sudah cukup trauma dengan bangsa Belanda yang sejak berabad sebelumnya menggunakan kebudayaan untuk menegakkan politik kolonial yang kapitalis dan imperialis. Para ahli kebudayaan Indonesia pada waktu itu seperti Ali Sastroamidjojo, Suharjo Kolopaking, Muh. Yamin, Sim Kie Ay, S.P. Susuhunan, Paku Buwono XII dan S.P. Mangkunegoro VIII khawatir kerjasama ini hanya menjadi senjata terakhir upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Menurut mereka sektor kebudayaan dapat memberi dampak dan pengaruh terhadap situasi politik dan kemanusiaan. 

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah kini kita sudah merdeka sebagai pelaku musik dan pendengar musik klasik Barat di Indonesia? Apakah kita benar-benar mendengarkan musik? Atau kita masih terkekang dengan tuxedo, dasi kupu-kupu dan segala prosesi-prosesi kaku pertunjukan musik orkes simfoni?

Sumber:

Sitorus, Eritha Rohana. 2009. Amir Pasaribu: Komponis, Pendidik & Perintis Musik Klasik Indonesia. Yogyakarta: Media Kreatifa.

http://iml.nederlandsmuziekinstituut.nl/

https://www.vpro.nl/speel~WO_VPRO_042790~wordende-wereld-30-augustus-1948-weest-gegroet-gij-koninginne-koninginnedag-1948-in-indonesi%C3%AB~.html

https://www.indonesienu.nl/2017/01/ragunan-oudste-dierentuin-van-indonesie.html

https://jakartaphilharmonic.org/history/

https://onh.nl/video/50-jarig-regeringsjubileum-van-koningin-wilhelmina-haarlem-1948

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

%d blogger menyukai ini: