Tulisan kali ini bertujuan untuk menelaah profesi konduktor atau dirigen dalam konteks profesinya di Indonesia. Sebelum terjun, mari kita baca sedikit tentang sejarah profesi ini. Conducting didefinisikan sebagai “seni memimpin sebuah pertunjukan yang terdiri dari beberapa musisi atau penyanyi dengan menggunakan gesture.” (Grove, 1922). Tugas utama seorang konduktor atau dirigen adalah untuk menginterpretasikan sebuah score antara lain merefleksikan indikasi-indikasi yang ada di dalam sebuah score seperti tempo, memastikan lalu-lintas musisi dan membentuk frase-frase musikal yang diperlukan. Sederhana. Seorang konduktor berkomunikasi dengan para musisi menggunakan gestur-gestur tangan, jika diperlukan untuk situasi tertentu menggunakan baton dan memberikan sinyal-sinyal maupun kode-kode lain seperti tatapan mata dan ekspresi muka. Di dalam latihan atau rehearsal, konduktor menggunakan instruksi-instruksi verbal untuk menyampaikan pesan dan visinya kepada para musisi. Di dalam situasi sebuah orkestra tradisional Barat, konduktor biasanya berdiri di tengah dan hadapan orkestra dengan terap yang sedikit lebih tinggi guna untuk mendapatkan visual yang adil dan terbaik untuk semua musisi yang ada di dalam orkestra tersebut.
Kebutuhan seorang konduktor di dalam sejarah musik orkestra Barat baru dimulai secara luas sejak abad ke-19. Di jaman sebelumnya, kebanyakan kelompok ansambel atau orkestra dipimpin secara gesture yang seperlunya oleh pemimpin biola yang dinamakan concertmaster. Kenapa pemain biola dan tidak pemain timpani? Karena pemain biola secara visual yang paling merangkumi seluruh ansambel dan secara sonoritas bisa mendengarkan seluruh orkestra. Jika mandat tersebut diberi kepada pemain trompet yang secara tradisional duduk di belakang, akan sedikit kesulitan untuk mereka mendengarkan keseluruhan musisi. Faktor sonoritas ini juga yang membuat secara natural pemain yang di depan, dengan instrumen yang paling mungil, yang dimandat untuk menjadi pemimpin orkestra. Beda kasusnya yang terjadi di era musik Barok (1600an – 1750an), sebuah kelompok ansambel biasanya dipimpin oleh musisi Harpsichord. Konstruksi komposisi musik pada era Barok dan era berikutnya berbeda. Komposisi di era Barok cenderung lebih ringan secara tekstur, tidak seheboh dan seramai musik di era Romantik misalkan (bandingkan Bach Brandenburg Concerto dengan Wagner Tannhauser). Maka, tidak ada kebutuhan yang demanding dalam hal ini untuk adanya seorang konduktor. Sedikit lebih jauh, praktek conducting telah wujud di era Medieval Barat (abad ke-5 sampai 15) yang disebut cheironomy. Ia adalah sebuah bentuk isyarat conducting di dalam sebuah kelompok koor untuk musik liturgi. Sebuah kelompok koor pada waktu itu membutuhkan pimpinan pusat yang menyampaikan garis-garis melodi dengan ritme yang bebas. Guido d’Arezzo, seorang penemu not balok (menurut buku teks sejarah musik klasik Barat), membuat desain risalah tentang conducting dengan mengartikan bentuk-bentuk jari yang berbeda untuk menerjemah pitch. Para cheironomer ini membentuk koreografi sinyal tangan untuk mengatur pergerakan garis melodi lalu menghasilkan sebuah pertunjukan yang sangat tersinkronisasikan.
Kembali ke conducting. Tekstur dan kompleksitas komposisi musik mulai berkembang di abad ke-19. Walaupun beberapa orkestra protes dengan wujudnya profesi konduktor, job ini akhirnya mulai “didirikan”. Ukuran orkestra membesar. Penggunaan baton mulai wajar karena secara visual musisi lebih mudah melihat augmentasi tangan seorang konduktor melalui baton daripada tangan kosong atau partitur yang di-roll. Beberapa konduktor yang mulai wujud pada era itu juga komponis, antara lain adalah Louis Spohr, Carl Maria von Weber, Felix Mendelssohn dan Franz Liszt. Mendelssohn (1809-47) menurut sejarah adalah konduktor pertama yang menggunakan baton kayu untuk menjaga tempo, sebuah praktek yang masih digunakan sampai hari ini. Sebuah anekdot mengatakan bahwa penampilan Mendelssohn di atas panggung memimpin orkestra berapi-api, presisi dan mengagumkan. Beliau kadang menggunakan dua tangannya untuk meminta musisi memainkan momen piano yang tenang setelah momen yang keras dan intens. Pada tahun 1869, Wagner membuat esai berjudul Über das Dirigieren (tentang conducting), menyatakan pujiannya terhadap Mendelssohn atas kompetensinya di bidang conducting lalu menghancurkannya dengan menyebut Mendelsson sebagai dangkal dan tidak lebih dari choirmaster yang berbakat. Tentu saja pernyataan ini membuat kita berfikir tentang teknik conducting-nya. Tapi Wagner membahas tentang sesuatu yang esensial perlu dimiliki oleh seorang musisi kesenian Jerman: tentang kebenaran dan kedalaman dalam pengalaman mendengarkan dan pertunjukannya. Di dunia inovasi, Hans van Bülow (1830-94), seorang dirigen Jerman berkontribusi dengan membuat sistem rehearsal mark yang sangat berguna dalam proses latihan. Beberapa konduktor ternama lain pada era transisi antara akhir abad ke-19 dan 20 adalah salah satu murid Bülow iaitu Richard Strauss (1864-1949) dan Gustav Mahler (1860-1911).
Abad ke-20 membutuhkan aspek teknis yang semakin kompleks. Arthur Nikisch (1855-1922) yang menjadi suksesor Bülow sebagai direktur musik Berlin Philharmonic pada tahun 1895 memberi penampilan perdana karya-karya simfonik oleh Anton Bruckner, Pyotr Ilyich Tchakovsky dan Johannes Brahms. Di sebuah kesempatan pasca perdana simfoni ke-4 karya Brahms, komponis Jerman tersebut berkata “sangat teladan, mustahil untuk mendengarkannya lebih baik lagi.”. Sebuah pujian yang tidak ternilai harganya untuk didapatkan dari seorang komponis terhadap konduktor. Profesi konduktor sejak itu semakin dianggap sangat penting dan mahal. Menjelmanya media gambar bergerak sebagai alat propaganda dan hiburan masyarakat pada awal abad ke-20 dimanfaatkan dengan baik oleh beberapa konduktor seperti Arturo Toscanini (1867-1957) dan Wilhelm Furtwängler (1886-1954). Seperti berkembangnya inovasi komposisi musik klasik Barat pada abad ke-20, dunia conducting tidak terlewat kecipratan. Fenomena konduktor semakin hangat dengan hadirnya dua figur besar yakni Herbert von Karajan (1908-89) dan Leonard Bernstein (1918-1990). Kedua tokoh tersebut menggunakan media untuk kepentingan kesenimanannya masing-masing. Bernstein menggunakan media untuk menayangkan seri konser edukasinya untuk anak-anak dan publik umum guna mempromosikan musik klasik Barat. Sementara Karajan menggunakan media untuk membuat seri film, musik video orkestra yang dikoreografikan dengan sempurna. Di dunia seni rekaman, Karajan memanfaatkan teknologi yang rekaman seperti cutting dan post-editing sementara Bernstein menolak konsep ini dan memilih membuat rekaman secara live. Bagi Bernstein musik tidak hidup di studio tanpa audiens.
Begitu kira-kira secara singkat apa yang terjadi di dalam sejarah musik klasik Barat. Lalu bagaimana di Indonesia? Apakah kita patut berkiblat pada apa yang di dunia Barat kerjakan? Perlukah kita menggaji seorang konduktor seperti seorang bintang sepak bola? Apakah dampaknya kepada dunia kebudayaan di Indonesia dan masyarakat?
Jika kita memetik esensi-esensi seorang konduktor, keahlian profesi ini tidak hanya bermanfaat untuk memimpin sebuah pertunjukan musik orkestra maupun ansambel. Menjadi konduktor kini, di Indonesia, tidak memerlukan teknik yang terlalu kompleks seperti apa yang dibutuhkan di musik kontemporer klasik Barat butuhkan saat ini. Pada akhirnya jika sebuah ansambel atau kelompok musisi akan dipimpin secara pendengaran oleh drum beats, pekerjaan aba-aba di atas podium sepertinya mustahil untuk dikatakan berguna. Lalu apakah yang masih kita perlukan oleh seorang konduktor? Konduktor kini perlu menjadi pemimpin di atas dan balik panggung. Konduktor perlu menjadi negosiator, enterpreneur dan vendor. Ilmu mendalam conducting seperti bagaimana clicking tidak sepenuhnya signifikan diperlukan jika konteks musik yang dimainkan adalah musik pop. Yang dibutuhkan adalah menjadi pemberi keyakinan terhadap lalu-lintas musisi. Lain kasusnya jika kita bicara musik kontemporer atau musik simfoni klasik Barat. Dalam hal tersebut kita masih perlu disiplin-disiplin ilmu Barat namun tidak semuanya juga karena musisi sudah secara natural memiliki pendengaran yang baik. Yang dibutuhkan musisi bukan mesin pengetuk bisu. Tapi inspirasi, direksi dan organisasi dalam latihan atau rehearsal. Musisi membutuhkan konduktor yang melihat mata mereka bukan sibuk melihat full score, meyakinkan mereka bahwa mereka bisa memainkannya bukan men-judge mereka, dan yang terpenting yang tidak menganggap profesinya seperti bintang sepak bola. Yang capek nyebul pemain, kok foto posternya yang ngaba-aba. Yang putus senarnya disambung pemain, kok gajinya 10 kali yang tidak membunyikan apapun di konser. Secara artistik profesi konduktor tidak ada bedanya dengan mixing engineer. Sama-sama mengatur keseimbangan, tekstur, warna dan struktur keseluruhan karya. Namun ada juga bedanya. Mixing engineer menekan tombol, memutar knob atau menaik-turunkan fader untuk merubah apa yang menurutnya perlu diperbaiki. Konduktor? Knob dan fader-nya apa? Bahasa. Bahasa kemanusiaan. Karena konduktor bekerja dengan manusia, bukan mesin.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk para calon konduktor hebat di Indonesia.
Sumber:
https://web.archive.org/web/20080406120734/http://www.rakkav.com/biblemusic/pages/chironomy.htm
Holden, Raymond. 2003. The technique of conducting. Cambridge: Cambridge University Press
Samama, Leo. 2014. The Meaning of Music. Amsterdam: Amsterdam University Press B.V.
Tinggalkan Balasan