Tulisan kali ini mengajak para penonton film yang sedang hangat dibicarakan, Tár, untuk membaca permukaan dunia musik klasik Barat modern terutama dunia conducting. Tulisan ini ditujukan untuk pembaca yang masih tergolong baru di dalam dunia musik klasik Barat modern. Banyak petikan-petikan informasi maupun nama-nama tokoh yang disinggung di dalam film ini yang mungkin cenderung asing bagi penonton di Indonesia. Maka, ulasan ini bertujuan untuk memperkenalkan kehidupan dunia musik klasik Barat modern melalui pespektif karakter fiksi seorang konduktor dan komponis perempuan bernama Lydia Tár. Penulis juga berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari spoil terhadap pembaca yang belum menonton film mahakarya ini.
Film yang berdurasi hampir 3 jam ini digagas oleh Todd Field, seorang pembuat film asal Amerika Serikat. Setting film ini disusun dalam kurun waktu abad ke-21 pasca-pandemi Covid-19 di New York, Dresden, Berlin dan sebuah tempat di Asia yang cukup abu-abu identitasnya. Film ini menyinggung dan menyebut tokoh-tokoh besar yang nyata di dalam dunia musik klasik Barat seperti Leonard Bernstein, Marin Alsop, Michael Tilson Thomas, Wilhelm Fürtwangler, Gustav Mahler, Bach dan tokoh-tokoh lainnya yang mungkin cukup membuat penonton umum merasa tersegmentasi. Nama-nama tersebut kebanyakannya adalah konduktor dan komponis yang nyata wujud dan berkontribusi besar di dalam profesinya masing-masing. Namun yang perlu diakui jempol adalah keberanian Todd Field dalam mengkritik beberapa tokoh tersebut yang menurutnya egosentrik dan terlalu berlebihan melebihi keagungan musik yang mereka mainkan atau aba-abakan. Dunia konduktor kelas A (strata tertinggi di pasar musik klasik Barat) bisa dikatakan hampir setara dengan atlit sepak bola. Kehidupan yang glamorous, hubungan pribadi yang cukup rumit, penuh kekuasaan dan egosentrik. Tentu saja ini tidak mencerminkan beberapa konduktor atau atlit sepak bola lain yang memilih untuk hidup sederhana, secukupnya dan benar-benar berdedikasi untuk seni. Namun perjalanan karir dan kebutuhan dunia industri musik klasik Barat tersebut yang mau tidak mau, membentuk paham dan kepribadian seorang seniman menjadi brand. Tidak sedikit kita temukan bintang-bintang musik klasik Barat modern yang tampil tidak hanya membunyikan instrumen, pita suara atau mengaba-aba. Beberapa dari mereka yang sudah berdiri di lingkaran kelas A pasti memikul tanggungjawab sebagai ambassador untuk merk atau brand yang terkenal seperti Rolex, BMW, Luis Vuitton dan lain-lain. Musik semakin pudar dibicarakan. Adapun berbicara, pasti template-nya sama saja. Inovasi dan kreatifitas sudah tidak dibutuhkan.
Kembali ke film Tár. Salah satu babak di film tersebut memperlihatkan kita kepada sebuah situasi masterclass conducting di salah satu konservatori musik prestisius di Amerika Serikat. Tanpa segan, Tár yang diperankan oleh Cate Blanchett menyinggung tentang pertanyaan penting terhadap pendidikan musik: apakah sekolah benar-benar sekolah? Atau kini sematq-mata menjadi salah satu perusahaan? Beberapa adegan memperlihatkan juga sebuah situasi latihan atau rehearsal musik baru atau musik kontemporer. Tár lalu melontarkan pertanyaan kepada mahasiswa/i yang sangat penting sebenarnya untuk para mahasiswa/i konservatori musik maupun lembaga pendidikan musik di seluruh dunia: berapa dari kalian (konduktor) juga komponis? Pertanyaan ini, jika diperhatikan secara seksama adalah lontaran kritik yang pedas terhadap lembaga pendidikan musik atau konservatori di seluruh dunia. Program studi dirigen atau konduktor kini luas dibuka untuk segala jenjang pendidikan termasuk di jenjang bachelor atau S1. Kini musisi muda tidak perlu menguasai instrumen dan menggali pengalaman sebagai penampil selama ribuan jam sebelum menjadi konduktor. Kondisi ini lebih diperburuk dengan hadirnya ajang kompetisi untuk konduktor. Mengutip kata-kata Sergiu Celibidache, seorang konduktor ternama abad ke-20 tengah dan akhir, pada sebuah wawancara di Denmark pada tahun 1978 ia menekankan “kompetisi konduktor itu negatif sekali karena juri tidak mengerti apapun. Para juri adalah sekolompok orang-orang yang tidak berkompeten. Ajang kompetisi memperlihatkan pendekatan yang statis terhadap musik. Musik tidak statis. Musik itu dinamis”. Apa yang terjadi dan berkembang sampai saat ini bisa dibilang cukup berbahaya karena tanpa pengalaman sebagai pemain, seorang konduktor akan kehilangan satu buah elemen penting di dalam kepemimpinannya: empati. Program studi conducting sepenuhnya mengedepankan teknik mengaba (conducting) dan terjun langsung ke orkestra profesional sebagai konduktor asisten yang kebanyakan kasusnya hanya menjadi pembantu konduktor utama. Pol mentok ya menjadi kuping mendengarkan keseimbangan volume orkestra tersebut beberapa momen sebelum pertunjukan.
Film Tár juga memperlihatkan kita permainan politik dan kekuasaan di dalam sebuah organisasi orkestra. Bagaimana strategi-stragegi dan penyampaian maksud dengan bahasa yang sopan serta diplomatis. Melalui film ini kita dipaparkan dengan pudarnya kesenimanan dan kekaryaan seorang konduktor dan komponis. Melalui film ini kita menjelajahi sisi kewirausahaan, politik dan kritik-kritik terhadap elemen-elemen tersebut. Gustav Mahler dan Edward Elgar hanya sebuah emblem. Ini adalah cerminan industri musik klasik Barat saat ini. Karya film ini tidak bisa sepenuhnya dipahami dalam sekali tontonan. Dalam konteks masyarakat di Indonesia, film ini mungkin akan menggaung kepada mereka yang cukup berpengetahuan tentang garis waktu musik klasik Barat. Namun film ini sangat menarik untuk dijadikan pedoman pertama akan pola kehidupan pekerja musik seni di kasta tertinggi Eropa dan Amerika. Jangan terkejut jika tidak sedikit yang ketergantungan akan obat-obatan anti-depresi, ADHD dan bahkan obat-obatan terlarang. Tingginya demand dari pasar bisa membuat seseorang yang murni berkesenian menjadi topeng kaleng merk perusahaan yang kosong jiwanya. Beginilah realita.
Bagi yang belum menonton, selamat menonton. Bagi yang sudah menonton, selamat menonton kembali.
Tinggalkan Balasan